Togutil, komunitas local Halmahera, sudah mendiami pedalaman Halmahera selama ratusan tahun. Selama ini mereka identik dengan julukan penguasa rimba. Komunitas dengan populasi yang kian menyusut ini menggunakan bahasa Tobelo Dalam atau Tobelo Halus dalam komunikasi keseharian mereka.
Sedikit banyak mereka punya kemiripan dengan suku Alifuru yang mendiami pulau Seram, sehingga sebagian orang menjuluki Alifuru Halmahera. Tapi, menilik bahasanya, sebagian masyarakat local Halmahera menyebut mereka sebagai Tobelo hutan atau orang hutan. Julukan dalam bahasa Tobelo (bahasa yang juga dipakai komunitas ini) adalah, Ohongana manyawa atau penghuni rimba. Mereka lebih suka dengan sebutan ini ketimbang nama Togutil. Darsis Huma, dekan Fakultas Hukum UMMU Ternate dalam satu diskusi dengan penulis menyebut bahasa mereka sangat halus dan kadang sulit dipahami Tobelo pesisir.
Sebagian masyarakat menganggap mereka adalah komunitas yang melarikan diri masuk hutan karena menghindari pajak (blasting) di masa penjajahan Belanda. Termasuk penduduk local yang mendiami pesisir Halmahera. Tapi saya cenderung berasumsi, mereka adalah penguasa hutan sejak ratusan tahun lalu.
Di masa Belanda, memang mereka dikeluarkan dengan maksud dimasyarakatkan, tapi karena dikenai pajak, sesuatu yang bertentangan dengan semangat kebebasan dalam hutan selama ini, mereka lalu masuk hutan lagi.
Merujuk ke Adnan Amal dalam Buku, Kepulauan Rempah-Rempah, 2008, di masa Sultan Katarabumi (Catabruno) dari Jailolo, dia punya serdadu rimba yang terkenal dengan kemampuan tempur dan menghilang di hutan secara menakjubkan. Meskipun dia mengutip referensi tentang serdadu ini berasal dari suku Tavarros (Tobaru), tapi dari segi bahasa yang digunakan, maupun adaptasi alam yang cukup lama, dan karakter mobil serta gaya berperang dalam hutan, bisa saja komunitas inilah serdadu yang dimaksud, yang kemudian menghilang ke dalam rimba bersama sultannya yang legendaries itu.
Sangat mungkin, tradisi ini kemudian melahirkan para pejuang Togutil yang bertahan di hutan-hutan dan hulu sungai di Halmahera. Mereka makin ke hutan, karena digusur oleh perang dan para bajak laut. Sementara mereka yang tak mau bertahan dalam hutan, melanjutkan tradisi menjadi pejuang-pejuang yang membantu Pangeran Nuku dari Tidore. Mereka ini dipimpin oleh Alferisi Suma dan dikenal sebagai Tobelo Tai yang di abad XVII mengantarkan Nuku yang dijuluki Prince Rebel ini menjadi Sultan di Tidore. Mereka menjadi pejuang Nuku garda depan, dan dilanjutkan oleh periode Arif Billa menuntut hak pemulihan tahta Jailolo, pejuang-pejuang ini masih tetap melayani Billa.
Setelah perang Nuku selesai dan Jailolo tergusur dari daerah Seram Pasir, para pengelana Tobelo menjalani hidup sebagai bajak Laut.
Dari mereka ini kemudian muncul tradisi canga, atau dalam sejarah pelayaran Nusantara, dikenal dengan Bajak Laut Tobelo. Salah satu pemimpin yang terkenal, Robodoi, sempat menjadi momok di Indonesia Timur, sampai pulau Jawa bagian Utara. Kehadiran mereka sempat menjadi momok. Setelah itu, mereka kembali dan mendiami kawasan pesisir Halmahera Utara, ada yang mendiami kawasan Halmahera Selatan seperti pulau-pulau Bacan, Obi, dan Halmahera bagian Selatan. Sebagian melebur sebagai penduduk di Seram Pasir. Catatan tentang bajak laut Tobelo ini dapat ditemukan dalam buku Adrian B. Lapian, “Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut.”
Sementara mereka yang memilih tak menjadi canga, masuk lebih ke dalam rimba lagi. Menjadi penghuni rimba yang sesungguhnya. Mereka ini kemudian dikenal dengan istilah Tobelo Dalam atau Ohongana manyawa.
Kemudian hari, kita mengenal mereka ini sebagai orang-orang Togutil. Padahal mereka juga merupakan sebagian dari komunitas Modole, salah satu dari empat sub etnis yang ada di Halmahera Utara.
Etnis ini mendiami kawasan yang terbentang dari Utara Halmahera, hingga Halmahera Tengah. Sekarang, lokasi pemukiman mereka sebagian besar sudah menjadi areal kontrak karya dari dua raksasa tambang di kawasan timur Indonesia; Nusa Halmahera Minerals (NHM) anak perusahaan Newcrest Mining Limited yang bermarkas di Toronto dan Weda Bay Nickel (WBN), salah satu perusahaan patungan Indonesia—Australia.
Kehidupan yang nomad ini menjadikan mereka penguasa rimba yang terus digusur. Informasi terakhir, sebagian komunitas ini memilih mendiami kawasan yang jauh dari pemukiman penduduk, di kawasan sungai Tayawi, Oba daerah Ake Tajawe, hutan Dodaga dan Tutuling, dan pedalaman Lolobata, serta pedalaman Kao dan Tobelo.
Nama kepala keluarga suku pedalaman yang legendaries diantaranya adalah keluarga Kahoho di sekitar Ake Tajawe, Goyo-goyo di pedalaman Lolobata, dan Tukuru yang diteruskan oleh anaknya Ngeteke, di pedalaman Tobelo.
Karakter yang mobil, kebiasaan berburu dan menjerat (dodeso) babi dan kijang, dan mengawetkan hasil buruan dalam bentuk dendeng babi dan kijang, serta tanaman yang hanya tanaman bulanan seperti ubi kayu dan ubi jalar, dan filosofi hidup yang “hari ini untuk makan hari ini, esok nanti cari lagi,” membuat mereka tak menetap lama di suatu tempat.
Meskipun berpindah-pindah (nomaden) mereka tak pernah melewati kawasan yang ditandai sebagai “yuridiksi” mereka. Teritori itu hanya ditandai dengan menancapkan tanda golok atau kampak/tamako pada sebatang pohon, tapi diantara mereka sangat memahaminya sebagai batas yang tak boleh dilewati.
Peralatan dapur mereka sangat sederhana. Menanak nasi atau ubi jalar cukup pakai seruas bambu yang didalamnya diisi dengan makanan dan air sekedarnya lalu dibakar di atas api unggun atau tunggu sederhana. Makan di atas daun pisang. Minum dari cangkir bambu atau daun lontar, dan penerangan di malam hari cukup api unggun atau obor dari getah damar.
Pakaian yang mereka kenakan masih sangat sederhana. Cukup penggalan kain penutup aurat paling terlarang. Bisa dari potongan kain atau dari kulit kayu yang dipukul hingga halus. Di malam hari, biasanya mereka melepas semua pakaian mereka, dan telanjang. Hanya gelap malam yang menutup diri mereka.
Rumah mereka biasanya hanya berdinding daun kelapa, kadang juga tanpa dinding atau dindingnya hanya sebelah. Dengan atap dari daun sagu atau bamboo, kadang dari daun kelapa, didiami oleh satu keluarga. Satu keluarga ini biasanya berjumlah puluhan orang.
Karena terus tergusur sepanjang sejarah, mereka cenderung sangat protektif dan curiga terhadap pendatang. Stigma sebagai pembunuh juga muncul karena kecurigaan yang berlebihan terhadap orang asing. Tak bisa heran juga jika sikap orang rimba ini seperti ini, karena sejarah panjang hidup mereka. Makanya, setiap orang asing selalu dipandang curiga, dan ditempatkan sebagai orang yang potensial untuk dimusuhi.
Sekarang, mereka makin tergusur. Selain oleh penduduk lokal, juga oleh penambangan raksasa korporat asing di wilayah adat mereka. Menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memulihkan hak-hak adat mereka. Juga demi kelangsungan hayati, karena cara hidup mereka sangat tidak mengganggu keseimbangan alam—satu pohon sebagai penanda satu kelahiran bayi— sekaligus menjadi penjaga keanekaragaman hayati dan keseimbangan dalam rimba.(
Sumber :
Rusli Jalil - http://jurnaltoddoppuli.wordpress.com/2011/11/25/ohongana-manyawa-penguasa-rimba-yang-tersisih )