Rabu, 28 November 2012

MASYARAKAT ADAT DI MALUKU UTARA MEMBENTUK ORGANISASI PEMUDA DAN WANITA



 TOBELO – Siang itu 29 September 2012, para Pemuda Adat dan Perempuan Adat dari berbagai komunitas masyarakat adat di Maluku Utara berkumpul di Kota Tobelo untuk melakukan kegiatan Pertemuan dengan mengambil tema “Pertemuan Wilayah Pemuda Adat dan PEREMPUAN AMAN Untuk Isu Perubahan Iklim dan Hak – Hak Masyarakat Adat di Pulau – Pulau Kecil”. 

Pertemuan Pemuda Adat dan PEREMPUAN AMAN ini untuk membicarakan pembentukan organisasi sayap Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara, yakni Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Maluku Utara dan PEREMPUAN AMAN Maluku Utara. Yang dilaksanakan selama dua hari dan dibuka oleh Bupati Halmahera Utara yang juga sebagai Ketua Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (DAMANNAS) juga dihadiri Ketua Umum Pengurus Nasional BPAN, Simon Pabaras dan Sekretaris Pelaksana PEREMPUAN AMAN, Surti Handayani. 

Dalam sambutannya, Ketua DAMANNAS ini mengatakan bahwa cita – cita luhur perjuangan Masyarakat Adat yang dimotori oleh AMAN adalah untuk mengangkat harkat dan martabat serta harga diri Masyarakat Adat agar bisa berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya.
Selama ini hak – hak Masyarakat Adat dikuasai oleh Negara dan perusahan, terutama terhadap tanah dan wilayah. Akhirnya terjadi konflik dimana – mana Masyarakat Adat dengan Pemerintah dan Perusahan, contoh kasus di Maluku Utara, banyak izin pertambangan yang dikeluarkan Pemerintah yang tidak memperhatikan hak – hak Masyarakat Adat. Padahal izin – izin tersebut berada di atas tanah – tanah adat yang disitu juga Masyarakat Adat menggantungkan hidupnya. Ungkap lelaki yang mendapat gelar Jikomadodanu ini.

Menurut beliau, Pemerintah harus melindungi hak – hak Masyarakat Adat ini agar bisa dinikmati oleh mereka secara turun – temurun. Pengaturan ini sebagai amanah pemerintah untuk menjalankan perintah UUD 1945.
Simon Pabaras selaku Ketua Umum BPAN dalam sambutannya mengatakan, Pemuda Adat harus menjadi motor penggerak dalam perjuangan Masyarakat Adat. Mereka yang harus berada di didepan ketika wilayah – wilayah adat terancam diambil alih oleh pihak lain.
Selaku Sayap AMAN, organisasi ini dibentuk dengan semangat perjuangan setelah sekian lama hak – hak Masyarakat Adat dirampas oleh Negara. BPAN harus menjadi media gerakan Pemuda Adat yang ada di komunitas Masyarakat Adat. Dia juga berharap BPAN Maluku Utara segera bergerak turun ke komunitas untuk melakukan pendampingan dan pembelaan kaitan dengan kasus – kasus yang dihadapi oleh komunitas. Kata Simon
Surti Handayani mengatakan, Perempuan adat yang ada di komunitas Masyarakat Adat  merupakan kelompok yang paling rentan mendapat dampak ketika pemerintah memberikan kuasa kepada perusahan untuk mengeksploitasi wilayah masyarakat adat. Akan hilangnya mata pencaharian mereka dan sangat gampang perempuan di eksploitasi menjadi buruh – buruh kasar di perusahan, bahkan di kriminalisasi.

Surti mendesak agar pemerintah harus mengeluarkan kebijakan yang bisa melindungi hak – hak perempuan yang ada di komunitas masyarakat adat.
Kegiatan ini dihadiri perwakilan pemuda dan perempuan adat dari 47 komunitas masyarakat adat, tokoh – tokoh adat dari 10 hoana di Halmahera Utara serta undangan lainnya. (***)

Masyarakat Adat Membutuhkan Undang - Undang


 Ternate – Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara melaksanakan dialog Rancangan Undang - Undang Perlindungan dan Pengakuan Hak – Hak Masyarakat Adat (RUU PPHMA) yang dilaksanakan pada tanggal 07 November 2012. Kegiatan tersebut dipusatkan di Hotel Bukit Pelangi Ternate.
Narasumber yang hadir saat itu adalah DR. Husen Alting dan Muhammad Asikin, SH. MH, yang berasal dari akademisi, sedangkan dari narasumber dari Pemerintah tidak hadir, walaupun sudah di undang.

Dalam penyampaian Munadi Kilkoda yang mewakili AMAN Maluku Utara, mengatakan bahwa dialog ini dilakukan karena masih ada interprestasi yang berbeda dari pasal – pasal dalam RUU versi AMAN dan versi BANLEG. “Kami melihat RUU versi BANLEG masih jauh dari harapan dan cita masyarakat adat. Bahkan tidak menjadi solusi bagi masyarakat adat untuk berdaulat atas tanah, sumberdaya alam dan wilayah adatnya” Ungkap Munadi
Sedangkan dua orang narasumber baik DR. Husen Alting dan Muhammad Asikin, SH.MH yang menjadi narasumber dalam dialog RUU tersebut, mengatakan bahwa, dua RUU ini baik versi AMAN dan versi BANLEG masih memiliki kelemahan – kelemahan yang harus diperbaiki. Namun mereka bersepakat bahwa, sudah saatnya masyarakat memiliki payung hukum tersendiri dalam undang - undang. 

DR. Husen Alting mengatakan, pengakuan masyarakat adat itu sudah ada, hanya saja pemerintah sengaja melakukan pengabaian hal tersebut. Terkesan masyarakat adat diakui terkantung pada momentum – momentum tertentu, misalnya ketika masyarakat adat mengakui hutannya, dia dihargai dengan kalpataru, sedangkan kalau ada kepentingan Negara untuk eksploitasi SDA, maka pengakuan atas hak masyarakat adat itu hilang. Masyarakat adat diperhadapkan dengan tekanan dari luar, sehingga dia butuh Negara untuk memproteksi apa yang dihadapi.

Hal lain, pendefenisian dalam RUU juga masih berbeda. AMAN menggunakan istilah masyarakat adat sedangkan BANLEG menggunakan istilah masyarakat hukum adat. Menurut beliau, masyarakat adat tidak terbatas pada norma hokum adatnya saja, tapi mereka akan dilihat dalam norma social, ekonomi, politik dan religi. Beliau mengusulkan untuk mengakurkan dua pendapat ini, maka RUU ini bisa mencantumkan saja defenisi dari dua istilah yang berbeda tersebut, yang penting batang tubuh RUU ini diperkuat.  

Selain itu, RUU yang dibuat ini harus bisa mengakomodasi keberagaman hukum – hukum adat yang ada di masyarakat adat yang berbeda – beda, terutama dalam system penguasan dan pemanfaatan tanah. RUU ini harus menjadi salah satu resolusi konflik dalam menyelesaikan pertentangan kepentingan masyarakat adat dengan Negara. 

Narasumber yang lain, Muhammad Asikin, SH. MH, mengatakan selama ini konflik terjadi karena pemerintah lebih cenderung melindungi kepentingan pemodal, dibandingkan melindungi hak – hak masyarakat adat. Misalnya kasus suku Sawai dengan PT WBN, suku Pagu dengan NHM dan suku Tobelo Dalam dengan perusahan – perusahan tambang. Padahal sebelum Negara ini ada, masyarakat adat sudah ada jauh sebelum itu. Sehingga perlu ada perlindungan terhadap hak – hak mereka.
Masyarakat adat itu lebih mengenal dirinya sebagai masyarakat adat, bukan hukum adat. Hukum adat hanya dikenal dalam konteks perundang – udangan yang pernah ada. Saya menyarankan, RUU harus melihat apa yang menjadi keinginan masyarakat adat sebagai subjek hokum dalam undang – undang.

Hal lain juga, bahwa RUU ini lahir karena perintah UUD 1945, pasal 18b. Karena ada kekosongan hukum sehingga penting untuk ada UU saat ini dalam rangka melindungi hak – hak masyarakat adat yang selama ini menjadi korban kebijakan pembangunan.
Kegiatan ini dihadiri juga oleh kapangan Pemerintah, Partai Politik, Media Massa, LSM, Masyarakat Adat, Akademisi dan Organisasi Kepemudaan/Kemahasiswaan. (Munadi Kilkoda)

MENENGOK PERJUANGAN MASYARAKAT ADAT


Oleh: Munadi Kilkoda
Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Maluku Utara
Jika Negara tidak bersama kami, kami tetap berdaulat atas tanah air kami. Statement masyarakat adat ini sebagai pengantar masuk melihat perjuangan mereka dalam memperjuangkan hak – haknya, baik atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam yang ada. Di saat yang bersamaan Negara yang seharusnya berperan sebagai pelindung adat justru cenderung berpihak pada kepentingan pemodal dengan memberikan izin untuk mengeksploitasi wilayah – wilayah adat yang merupakan hak milik mereka.
Konflik Ruang Hidup
Masyarakat adat yang bergantung pada ketersediaan sumberdaya alam baik hutan dan laut harus berhadapan dengan kebijakan Negara yang mengkonsesikan wilayah – wilayah adat tersebut untuk kepentingan pembangunan. Sayangnya prinsip pembangunan yang dibuat Negara tidak mengindahkan prinsip – prinsip Free Prior Informan Consente (FPIC). Prinsip FPIC atau Persetujuan Bebas Tanpa Paksaan menempatkan masyarakat adat dalam satu mekanisme pengambilan keputusan yang berhubungan dengan hidupnya tanpa paksaan dan bebas menerima atau menolak kebijakan pembangunan yang masuk ke wilayah adat mereka. Karena mereka yang paling merasakan dampaknya secara langsung dari pembangunan tersebut.
Konflik ruang hidup sangat merugikan masyarakat adat. Konflik ini bisa kita lihat sehari – hari, misalnya suku Pagu harus berhadapan dengan PT NHM, suku Sawai dengan PT WBN, suku Tobelo Dalam yang harus tersingkir dari wilayah adat mereka dengan masuknya Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang menjadikan tambang sebagai sector unggulan di Halmahera. Konflik ini terjadi juga di beberapa tempat, masyarakat adat harus berhadapan dengan investasi sawit dan tambang yang jor – joran mengeksploitasi hutan dan mencemari laut.
Eksploitasi sumberdaya alam ini berdampak pada kerusakan ekologi secara permanen yang harus ditanggung oleh masyarakat adat. Ruang hidup atau akses terhadap hutan terhalang untuk batas – batas konsesi perusahan di hutan yang dilegitimasi oleh Negara. Negara bahkan senang berkongsi dengan perusahan. Hak atas tanah, sumberdaya alam serta wilayah adatnya yang menjadi sumber kehidupan masyarakat adat hilang dan beralih fungsi. Bahkan ancaman kerusakan ekologi di Maluku Utara semakin meningkat dari hari – hari (baca: hasil riset Puslitbang UNHAS).
Dalam kurung waktu beberapa tahun kedepan, skala konflik tenurial akan semakin meningkat seiring dengan penguasaan ruang hidup masyarakat adat terhadap sumber – sumber kehidupan oleh perusahan. Bahkan eksploitasi sumberdaya alam yang dilakukan tidak memperhitungkan daya dukung lingkungan. Ini merupakan ironi bagi masa depan masyarakata adat yang hidup di Halmahera dan gugusan pulau – pulau kecil.
Pemetaan Wilayah Adat
Siang itu waktu Jakarta, 14 November 2012, rombongan AMAN dan Jaringan Kerja Pemetaan Partispatif (JKPP) bertemu dengan Badan  Informasi Geospasial (BIG) dan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Pertemuan itu untuk menyerahkan peta wilayah adat yang dikerjakan oleh AMAN dan JKPP sejumlah 265 peta wilayah adat dengan total luasan 2.402.222,824 ha diseluruh wilayah nusantara dimana komunitas masyarakat adat berada. Penyerahan ini merupakan tahapan awal karena masih banyak lagi wilayah adat yang akan dipetakan oleh masyarakat adat.
Sebuah capaian keberhasilan setelah sekian waktu berjuang mempertahankan wilayah – wilayah adat dari cengkreman kelompok korporatokrasi yang memburu wilayah – wilayah masyarakat adat yang kaya dengan sumberdaya alam. Capaian ini adalah perwujudan dari penegasan sikap masyarakat adat atas keberadaan mereka dalam Negara yang hidup secara turun – temurun jauh sebelum Negara ini dimerdekakan
Negara harus melihat manfaat dari pemetaan ini, sebagai bentuk identifikasi diri masyarakat adat beserta wilayahnya. Bahkan dengan pemetaan ini, akan dapat meminimalisir konflik kepentingan masyarakat adat, Negara dan pihak lain.
Pemetaan wilayah adat bukan sebuah ekspektasi tanpa tujuan. Tapi memiliki kegunaan dalam menjaga sumber – sumber penghidupan masyarakat adat yang selama ini menjadi penopang kehidupan mereka dari turun – temurun. Wilayah adat sesungguhnya menunjukan kedaulatan masyarakat adat tersebut yang harus diakui dan dilindungi oleh Negara. Harus juga dihormati siapapun yang masuk ke wilayah tersebut. (sumber:http://malutpost.co.id/?p=5370, Munadi Kilkoda)

Rabu, 21 November 2012

DEMONSTRASI MASYARAKAT ADAT PAGU TERHADAP PT. NUSA HALMAHERA MINERAL YANG MULAI MEMBONGKAR HUTAN ADAT MASYARAKAT PAGU

Prosesi Bubugo (Ritual adat) yang dilakukan
Masyarakat Pagu di depan pintu  PT. NHM
 GOSUWONG- Aksi demonstrasi masyarakat adat Pagu menentang  pembongkaran hutan adat yang dilakukan oleh PT. Nusa Halmahera Mineral di wilayah mereka ini berlangsung tadi pagi (21/11).  Aksi yang dimulai dengan ritual adat Bubugo didepan pintu masuk PT. Nusa Halmahera Mineral merupakan bentuk perlawanan orang Pagu terhadap perusahan tambang Australia ini yang mulai membongkar lagi 50 ha hutan adat di daerah pegunungan Diun dan Imur, hutan adat Pagu untuk kegiatan eksplorasinya.  Selain wilayah itu, ada juga satu wilayah yang menjadi sasaran CSR NHM yaitu wilayah Dumdum, yang direncanakan akan dijadikan kebun singkong dengan membuka 80 ha tanah masyarakat.









Selasa, 20 November 2012

OHONGANA MANYAWA - PENGUASA-PENGUASA RIMBA YANG TERSISIH

Togutil, komunitas local Halmahera, sudah mendiami pedalaman Halmahera selama ratusan tahun. Selama ini mereka identik dengan julukan penguasa rimba. Komunitas dengan populasi yang kian menyusut ini menggunakan bahasa Tobelo Dalam atau Tobelo Halus dalam komunikasi keseharian mereka. Sedikit banyak mereka punya kemiripan dengan suku Alifuru yang mendiami pulau Seram, sehingga sebagian orang menjuluki Alifuru Halmahera. Tapi, menilik bahasanya, sebagian masyarakat local Halmahera menyebut mereka sebagai Tobelo hutan atau orang hutan. Julukan dalam bahasa Tobelo (bahasa yang juga dipakai komunitas ini) adalah, Ohongana manyawa atau penghuni rimba. Mereka lebih suka dengan sebutan ini ketimbang nama Togutil. Darsis Huma, dekan Fakultas Hukum UMMU Ternate dalam satu diskusi dengan penulis menyebut bahasa mereka sangat halus dan kadang sulit dipahami Tobelo pesisir. Sebagian masyarakat menganggap mereka adalah komunitas yang melarikan diri masuk hutan karena menghindari pajak (blasting) di masa penjajahan Belanda. Termasuk penduduk local yang mendiami pesisir Halmahera. Tapi saya cenderung berasumsi, mereka adalah penguasa hutan sejak ratusan tahun lalu.

Di masa Belanda, memang mereka dikeluarkan dengan maksud dimasyarakatkan, tapi karena dikenai pajak, sesuatu yang bertentangan dengan semangat kebebasan dalam hutan selama ini, mereka lalu masuk hutan lagi. Merujuk ke Adnan Amal dalam Buku, Kepulauan Rempah-Rempah, 2008, di masa Sultan Katarabumi (Catabruno) dari Jailolo, dia punya serdadu rimba yang terkenal dengan kemampuan tempur dan menghilang di hutan secara menakjubkan. Meskipun dia mengutip referensi tentang serdadu ini berasal dari suku Tavarros (Tobaru), tapi dari segi bahasa yang digunakan, maupun adaptasi alam yang cukup lama, dan karakter mobil serta gaya berperang dalam hutan, bisa saja komunitas inilah serdadu yang dimaksud, yang kemudian menghilang ke dalam rimba bersama sultannya yang legendaries itu. Sangat mungkin, tradisi ini kemudian melahirkan para pejuang Togutil yang bertahan di hutan-hutan dan hulu sungai di Halmahera. Mereka makin ke hutan, karena digusur oleh perang dan para bajak laut. Sementara mereka yang tak mau bertahan dalam hutan, melanjutkan tradisi menjadi pejuang-pejuang yang membantu Pangeran Nuku dari Tidore. Mereka ini dipimpin oleh Alferisi Suma dan dikenal sebagai Tobelo Tai yang di abad XVII mengantarkan Nuku yang dijuluki Prince Rebel ini menjadi Sultan di Tidore. Mereka menjadi pejuang Nuku garda depan, dan dilanjutkan oleh periode Arif Billa menuntut hak pemulihan tahta Jailolo, pejuang-pejuang ini masih tetap melayani Billa.

Setelah perang Nuku selesai dan Jailolo tergusur dari daerah Seram Pasir, para pengelana Tobelo menjalani hidup sebagai bajak Laut. Dari mereka ini kemudian muncul tradisi canga, atau dalam sejarah pelayaran Nusantara, dikenal dengan Bajak Laut Tobelo. Salah satu pemimpin yang terkenal, Robodoi, sempat menjadi momok di Indonesia Timur, sampai pulau Jawa bagian Utara. Kehadiran mereka sempat menjadi momok. Setelah itu, mereka kembali dan mendiami kawasan pesisir Halmahera Utara, ada yang mendiami kawasan Halmahera Selatan seperti pulau-pulau Bacan, Obi, dan Halmahera bagian Selatan. Sebagian melebur sebagai penduduk di Seram Pasir. Catatan tentang bajak laut Tobelo ini dapat ditemukan dalam buku Adrian B. Lapian, “Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut.” Sementara mereka yang memilih tak menjadi canga, masuk lebih ke dalam rimba lagi. Menjadi penghuni rimba yang sesungguhnya. Mereka ini kemudian dikenal dengan istilah Tobelo Dalam atau Ohongana manyawa.

Kemudian hari, kita mengenal mereka ini sebagai orang-orang Togutil. Padahal mereka juga merupakan sebagian dari komunitas Modole, salah satu dari empat sub etnis yang ada di Halmahera Utara. Etnis ini mendiami kawasan yang terbentang dari Utara Halmahera, hingga Halmahera Tengah. Sekarang, lokasi pemukiman mereka sebagian besar sudah menjadi areal kontrak karya dari dua raksasa tambang di kawasan timur Indonesia; Nusa Halmahera Minerals (NHM) anak perusahaan Newcrest Mining Limited yang bermarkas di Toronto dan Weda Bay Nickel (WBN), salah satu perusahaan patungan Indonesia—Australia. Kehidupan yang nomad ini menjadikan mereka penguasa rimba yang terus digusur. Informasi terakhir, sebagian komunitas ini memilih mendiami kawasan yang jauh dari pemukiman penduduk, di kawasan sungai Tayawi, Oba daerah Ake Tajawe, hutan Dodaga dan Tutuling, dan pedalaman Lolobata, serta pedalaman Kao dan Tobelo. Nama kepala keluarga suku pedalaman yang legendaries diantaranya adalah keluarga Kahoho di sekitar Ake Tajawe, Goyo-goyo di pedalaman Lolobata, dan Tukuru yang diteruskan oleh anaknya Ngeteke, di pedalaman Tobelo.

Karakter yang mobil, kebiasaan berburu dan menjerat (dodeso) babi dan kijang, dan mengawetkan hasil buruan dalam bentuk dendeng babi dan kijang, serta tanaman yang hanya tanaman bulanan seperti ubi kayu dan ubi jalar, dan filosofi hidup yang “hari ini untuk makan hari ini, esok nanti cari lagi,” membuat mereka tak menetap lama di suatu tempat. Meskipun berpindah-pindah (nomaden) mereka tak pernah melewati kawasan yang ditandai sebagai “yuridiksi” mereka. Teritori itu hanya ditandai dengan menancapkan tanda golok atau kampak/tamako pada sebatang pohon, tapi diantara mereka sangat memahaminya sebagai batas yang tak boleh dilewati. Peralatan dapur mereka sangat sederhana. Menanak nasi atau ubi jalar cukup pakai seruas bambu yang didalamnya diisi dengan makanan dan air sekedarnya lalu dibakar di atas api unggun atau tunggu sederhana. Makan di atas daun pisang. Minum dari cangkir bambu atau daun lontar, dan penerangan di malam hari cukup api unggun atau obor dari getah damar. Pakaian yang mereka kenakan masih sangat sederhana. Cukup penggalan kain penutup aurat paling terlarang. Bisa dari potongan kain atau dari kulit kayu yang dipukul hingga halus. Di malam hari, biasanya mereka melepas semua pakaian mereka, dan telanjang. Hanya gelap malam yang menutup diri mereka. Rumah mereka biasanya hanya berdinding daun kelapa, kadang juga tanpa dinding atau dindingnya hanya sebelah. Dengan atap dari daun sagu atau bamboo, kadang dari daun kelapa, didiami oleh satu keluarga. Satu keluarga ini biasanya berjumlah puluhan orang. Karena terus tergusur sepanjang sejarah, mereka cenderung sangat protektif dan curiga terhadap pendatang. Stigma sebagai pembunuh juga muncul karena kecurigaan yang berlebihan terhadap orang asing. Tak bisa heran juga jika sikap orang rimba ini seperti ini, karena sejarah panjang hidup mereka. Makanya, setiap orang asing selalu dipandang curiga, dan ditempatkan sebagai orang yang potensial untuk dimusuhi. Sekarang, mereka makin tergusur. Selain oleh penduduk lokal, juga oleh penambangan raksasa korporat asing di wilayah adat mereka. Menjadi tanggung jawab kita bersama untuk memulihkan hak-hak adat mereka. Juga demi kelangsungan hayati, karena cara hidup mereka sangat tidak mengganggu keseimbangan alam—satu pohon sebagai penanda satu kelahiran bayi— sekaligus menjadi penjaga keanekaragaman hayati dan keseimbangan dalam rimba.(Sumber : Rusli Jalil  - http://jurnaltoddoppuli.wordpress.com/2011/11/25/ohongana-manyawa-penguasa-rimba-yang-tersisih )

MoU AMAN Maluku Utara dengan RRI Ternate

“Penguatan Suara Masyarakat Adat Terus Didorong”


Mou AMAN Maluku Utara dengan RRI Cabang Ternate
Mou AMAN Maluku Utara dengan RRI Ternate
TERNATE – Penguatan suara masyarakat adat lewat Media terus di dorong oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)a Maluku Utara.  Hal ini terlihat dari kemitraan yang dibangun dengan beberapa Media di Maluku Utara, salah satunya Radio Republik Indonesia (RRI) Ternate.
Selama 3 kali berturut – turut AMAN Maluku Utara berdiskusi dengan RRI Ternate untuk pemantapan kerjasama dalam rangka mendorong suara masyarakat adat lewat RRI. Setelah pemantapan lewat diskusi panjang antara kedua pihak, lalu disepakati point-point penting yang berhubungan dengan kerjasama untuk saling menguntungkan.
Pada tanggal 04 September 2012, sekitar pukul 11.00 WIT, di kantor RRI Ternate, kedua belah pihak menandatangani MoU yang sudah di sepakati sejak awal. Pihak RRI diwakili langsung oleh Kepala RRI Ternate Hari Sudaryanto, SE. MM dan dari AMAN Malut diwakili oleh Kepala Biro OKK BPH AMAN Malut, Munadi Kilkoda, beserta beberapa orang staf.
Hal – hal strategis yang disepakati untuk dikerjakan secara bersama – sama dalam MoU tersebut, antara lain:

  1. Peliputan dan Pemberitaan setiap kegiatan yang dilakukan oleh AMAN dan/atau Komunitas Masyarakat Adat,
  2. Peningkatan isu masyarakat adat lewat diskusi rutin yang dilakukan sebulan sekali di studio RRI Cabang Ternate dengan tema – tema Masyarakat Adat,
  3. Mengembangkan model – model informasi yang berbasis komunitas masyarakat adat di Maluku Utara, yang terdiri dari: (a). Pertukaran informasi antara kedua belah pihak yang berhubungan dengan penguatan suara masyarakat adat. (b). Mengangkat kontributor pemberitaan yang berasal dari komunitas masyarakat adat di Maluku Utara.
  4. Melakukan pelatihan untuk peningkatan kapasitas kedua belah pihak untuk penguatan suara masyarakat adat di Maluku Utara.
Masa berlaku MoU ini selama 2 tahun sejak di tanda tangani kedua belah pihak. Dan akan dilanjutkan jika agenda – agenda dalam mengoperasionalkan MoU tersebut. Implementasi MoU ini akan dilakukan mulai dari bulan oktober.
Kedua belah pihak menyambut baik kesepakatan dalam MoU ini. Bagi RRI juga, kemitraan dengan AMAN adalah kemitraan strategis untuk bicara masyarakat adat dan problem hak yang mereka hadapi selama ini. Karena itu keterbukaan kedua pihak akan sangat penting dalam hal hubungan kerja.
AMAN Malut juga mengapresiasi RRI Cabang Ternate yang mau melihat dan ikut mendorong problem yang dihadapi oleh masyarakat adat saat ini. Media ini harus dimanfaatkan untuk melawan stereotip yang dikontruksikan untuk menghancurkan eksistensi masyarakat adat. Problem klasik lainnya, masyarakat adat di Maluku Utara adalah pengambilalihan dan perampasan hak – hak masyarakat adat lewat izin – izin investasi skala massif, seperti izin pertambangan dan izin perkebunan besar. Karena itu AMAN melihat RRI sebagai mitra potensial dan strategis yang bisa membantu masyarakat adat untuk memperjuangkan hak – haknya. Minimal persoalan masyarakat di kampung bisa di dengar oleh public dan Negara. (Munadi Kilkoda)

SAIL MOROTAI DAN INVESTASI TAMBANG DI HALMAHERA

Pantai di Morotai
Siang tadi, rombongan Presiden menghadiri acara puncak pelaksanaan SAIL Morotai di Maluku Utara. Satu peristiwa dan agenda besar untuk mendorong sektor Pariwisata dan Perikanan sebagai andalan yang harus terus dikembangkan.
Memang dibenarkan, Morotai untuk dengan dua sektor ini tidak perlu diperdebatkan. Daerah yang dalam sejarah perang dunia ke-II itu, pernah menjadi pangkalan perang sekutu. Panorama bawah laut dan gugusan pulau-pulau kecil menghadirkan ketenangan jiwa bagi siapa saja yang mau hadir menikmati keindahan Morotai. Hal lain yang perlu di banggakan, potensi perikanan yang menjanjikan kesejahteraan bagi masyarakat setempat. Daerah ini rencananya akan dikembangkan dalam program Mega Minapolitan.

Berada di bibir Pasifik, Morotai bisa menjadi jembatan bagi Indonesia dengan negara-negara lain di Asia. Karena itu dalam setiap diskusi dikalangan Akademik/ Pemerintah/ Media/ LSM/ Pengusaha, merekomendasikan Morotai harus menjadi gerbang Pasifiknya Indonesia.
Meninggalkan Pulau Morotai sejenak dan coba kita beranjak ke sebelahnya Pulau Halmahera. Halmahera merupakan pulau terbesar di Maluku Utara, pulau ini menyimpang potensi SDA yang melimpah. Nikel, Emas, Batu Bara, Pasir Besi, dll. Potensi kehutanan juga beragam, Perikananpun demkian, bahkan dihuni oleh berapa jenis burung endemik.
Halmahera dihuni oleh beragam Suku Bangsa yang sehari-hari bergantung pada alam. Potensi yang tersedia di alam di kelola secara surviva dgn kearifan lokal untuk keberlanjutan hidup dari generasi ke generasi. Karena itu, Suku Tobelo Dalam memaknai hutan adalah “Makanan dan Leluhur Mereka”, Suku Pagu melihat Hutan sebagai tempat bersemayamnya leluhur mereka yang menjaga alam untuk anak cucu, Suku Sawai dalam pemanfaatan dan pengelolaan SDA, harus dengan sistem “Myo Facicile/ambil sedikit saja” karena alam itu adalah untuk masa depan generasi.
Saat ini nilai seperti itu tergusur perlahan-lahan oleh konstruksi nilai baru yang mempengaruhi nalar berfikir mereka. Masyarakat adat dari menjaga hutan menjadi perambah hutan. Mereka seperti tidak bisa hidup jika tidak menjual tanahnya kepada pihak lain (perusahan tambang). Halmahera saat ini dihuni oleh I64 IUP, 3 KK, 4 Perkebunan Sawit, Ratusan Izin Kehutanan. Konflik Agraria pun terus bermunculan.
MP3EI atau satu mega proyek yang dirancang saat ini, Halmahera dikembangkan sebagai Pusat Pertambangan Nasional, sedangkan Morotai sebagai Perikanan.
Mega proyek ini jika ditelusuri lebih dalam merupakan perjamuan suci kelompok kapitalis yang akan merongrong hidup masyarakat Maluku Utara.
SAIL Morotai merupakan rangkaian kegiatan dari rencana MP3EI. Pertarungan kepentingan penguasan hak kelola laut terjadi di depan mata. Bahkan awal tahun lalu, salah satu investor di Morotai, PT MMC, mengusir masyarakat pulau Ngele-Ngele dari perkampungan mereka. Di Halmahera beberapa perkampungan terancam direlokasi karena masuk dlm wilayah konsesi perusahan tambang.
Khayalan masa depan sangat sulit diwujudkan. Dipermukaan kita melihat giat-giat pembangunan yang terus di dorong oleh negara, sayangnya dibalik rencana itu, ada kepentingan kapitalisme yang menyusup untuk menguasai SDA milik (hak) suku bangsa di Halmahera.
SAIL Morotai, MP3EI vs Kesejahteraan Masyarakat..!! Jangan lagi membangun mitos.. (PW AMAN Malut- Munadi Kilkoda)

Sungai Ngalo-ngalo

Sungai Ngalo-ngalo

Sungai Ngalo-ngalo lebih dikenal dengan sebutan kali jodoh merupakan salah satu sungai yang mengaliri wilayah adat Pagu. Mulai dari daerah Kao barat sampai ke wilayah pesisir.

Konon sungai ini memiliki cerita mistis tersendiri yang sampai sekarang masih tetap dipercayai oleh sebagian besar masyarakat adat Pagu yang bermukim di sepanjang aliran sungai tersebut.

Menurut cerita para tetua, dahulu kala di daerah togorangot ada satu pohon beringin yang tumbuh di sisi kiri aliran Sungai Ngalo-ngalo. Orang Pagu saat itu masih tinggal di dalam hutan, mereka biasanya menggunakan rakit untuk turun mengunjungi saudara-saudaranya di pesisir dengan menyusuri aliran sungai tersebut dan ketika melewati daerah togorangot, laki-laki diwajibkan untuk meletakkan parang dan salawaku (tameng) di bagian akar pohon itu. Sedangkan para perempuan wajib  meletakkan sirih, pinang dan kapur jika melintas dari sana. Ini dipercayai sebagai bentuk permisi pada para leluhur yang bersemayam di Sungai Ngalo-ngalo,  serta untuk meminta agar mereka dilindungi dalam perjalanan hingga selamat sampai ke tujuan. Biasanya orang yang tak melakukan ritual seperti di atas pasti mendapat halangan. Seperti rakit mereka tenggelam bahkan sampai hilang atau dimakan buaya. Namun sayang pohon keramat itu akhirnya roboh juga karena usianya sudah tua dan sering diterjang banjir. Meski demikian orang Pagu tetap meyakini tempat tersebut sebagai tempat bersemayamnya roh para leluhur dan sampai kini tetap dihormati.

Walaupun perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi sudah menjamah masyarakat adat Pagu. Namun mereka masih tetap percaya pada cerita tersebut dengan menceritakannya turun-temurun dari generasi ke generasi selanjutnya sebagai kekayaan budaya///****
Abe Ngingi.

Pagu VS PT. NHM

 Masyarakat adat pagu saat ini sedang melakukan konsolidasi bersama terhadap ekspansi PT. Nusa Halmahera Mineral yang sudah mulai membongkar hutan adat milik masyarakat adat Pagu. Hal ini  dilakukan sebagai bentuk kekecewaan dan perlawanan masyarakat adat Pagu terhadap kehadiran perusahan tambang milik Australia yang sudah beroperasi sejak 12 tahun lalu itu. Selain itupun bencana ekologis berupa pembuangan limbah sisa produksi ke kawasan adat telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan sumber penyakit bagi masyarakat yang tinggal di daerah pesisir. Masyarakat pesisir mulai merasakan dampak pembuangan merkuri dan arsen ke wilayah teluk Kao.

Dana Comunity Development yang dibagikan  kepada masyarakat pun dirasa sangat tidak adil dan penuh dengan kepentingan berbagai pihak. Hal ini pun diperkuat dengan berbagai temuan yang didapat dilapangan. Dana yang diberikan ke desa hampir 500 juta ternyata tidak ada yang berubah dari wajah desa tersebut. Dan juga berbagai kepentingan dari para kontraktor yang menjadi suplier, menjadikan dana pengembangan masyarakat ini sebagai ladang bisnisnya mereka dengan mengorbankan masyarakat adat pada khususnya dan masyarakat lingkar tambang pada umumnya.

Apa yang harus kita lakukan???
Kita harus kembali membangun solidaritas diantara sesama masyarakat khususnya para generasi muda dengan merubah mind set mereka untuk berjuang bersama mengembalikan martabat masyarakat adat Pagu di Halmahera. Dan juga generasi muda diharapkan menjadi ujung tombak perjuangan adat dengan berdiri di depan menghadang segala bentuk pembodohan terhadap masyarakat adat Pagu.. satukan tekad, rapatkan barisan dan mari berjuang untuk kedaulatan masyarakat adat Pagu...
Otuuuu,,,,,,,,,yeeee,,,,,,,